Powered By Blogger

Jumat, 16 September 2011

jare wong tuo

Witing Tresno Jalaran Soko Kulino

Artinya, witing tresna (awal mula cinta), jalaran saka kulina (dapat tumbuh karena sering bertemu). Peringatan ini berlaku bagi laki-laki maupun perempuan, terutama yang sudah berkeluarga, agar berhati-hati dalam berteman, berhubungan, atau berkomunikasi dengan lawan jenis. Jangan sampai ia melanggar batas kewajaran, karena kedekatan (keakraban) dapat menumbuhkan cinta.

Adapun yang dimaksud dengan keakraban dan kedekatan di sini bukan sebatas ragawi belaka, melainkan lebih bersifat ruhani (batin). Sebab, banyak juga di antara lelaki dan perempuan yang bergaul akrab selama bertahun-tahun, namun tidak tumbuh rasa cinta di hati masing-masing. Sementara itu, ada yang baru bertemu dua atau tiga kali, mereka langsung jatuh cinta setengah mati. Soalnya, cinta adalah urusan batin (kejiwaan) manusia dan sudah menjadi kodrat kemanusiaan itu sendiri. Jadi, yang perlu dijaga adalah “siapa mencintai siapa”. Misalnya, jangan sampai mencintai istri teman sendiri, mencintai saudara sendiri, dan selanjutnya. Dalam adat budaya Jawa, ketika anak lelaki dan perempuan mulai akil baligh, orang tua pasti memerintahkan mereka untuk tidur terpisah, tidak boleh lagi bercanda berlebihan, atau bergelut seperti anak kecil. Langkah demikian untuk menjaga agar jangan sampai mereka terpeleset dan merugi karena terlanjur melanggar norma kesusilaan yang mengundang dosa besar bagi keduanya

Artinya, anak pola bapa kepradhah (anak bertingkah, bapak atau orang tua yang bertanggung jawab), bapa kesulah anak kapolah (orang tua dihukum dengan dihujani tombak, anak ikut merasakannya). Hal ini merupakan peringatan bagi orang tua agar bertanggung jawab terhadap kehidupan anak-anaknya. Meskipun demikian, tetap harus mempertimbangkan dengan cermat pemintaan si anak, mengenai baik-buruknya atau manfaatnya, agar tidak menimbulkan permasalahan dalam keluarga


Anak Polah, Bapak Kepradhah

Peribahasa ini juga sering digunakan untuk mengomentari (menyindir) orang tua yang suka berlebihan menuruti permintaan anak, tanpa mempertimbangkan baik-buruk dan manfaat permintaan itu. Padahal, sesungguhnya dia tahu bahwa permintaan si anak kadang tidak pada tempatnya. Selain itu, peribahasa tersebut dapat pula untuk mengingatkan orang tua yang cenderung sukar meluluskan kehendak anaknya. Sebab, sebagai orang tua yang melahirkan si anak, mau tidak mau dia harus bertanggung jawab meringankan beban hidup sang anak sewaktu-waktu diperlukan.

Peribahasa ini berhubungan pula dengan ungkapan selanjutnya yang menjadi kebalikan dari ungkapan pertama, bapa kesulah anak kapolah. Artinya, orang tua dapat juga merepotkan anak. Karena, baik-buruknya orang tua, si anak pun akan ikut terbawa-bawa.


Kacang Mongso, Ninggala Lanjaran

Artinya, kacang (kacang panjang), mangsa ninggala lanjaran (tidak mungkin meninggalkan turus tempatnya merambat). Maknanya, kacang panjang tidak bisa tumbuh dan berbuah dengan baik tanpa merambat peda turus tempatnya memanjat. Apabila dibiarkan, tumbuhnya akan melata di tanah, sehingga pembungaan dan pembuahannya kurang sempurnya.

Peribahasa tersebut menggambarkan perangai atau perilaku anak yang berkonotasi buruk, serta mirip (meniru) orang tuanya yang juga memiliki sifat serupa. Misalnya, dulu ayahnya penjudi dan pencuri. Sekarang, anaknya juga suka bermain judi dan mencuri sejak kecil. Orang tuanya berangasan, suka berkelahi, dan mau menang sendiri, maka anaknya pun mempunyai tabiat yang sama dengan orang tuanya. Sejak kecil, anak itu terkenal nakal, sering bertengkar saat merebut mainan teman-temannya. Seandainya keinginannya tidak terpenuhi, ia pasti mengadu kepada orang tuanya untuk mendapatkan bantuan dan pembelaan.

Bagi yang tanggap, peribahasa ini dapat dijadikan cermin peringatan. Misalnya, dulu orang tua punya sifat atau perilaku yang kurang baik, maka si anak harus berusaha menghindari perbuatan seperti itu, agar tidak dianggap layaknya kacang mangsa ninggala lanjarane. Asalkan berusaha dengan sungguh-sungguh, ia tentu akan menuai hasilnya.


Tepo Sliro

Artinya, tepa (ukuran), slira (badan). Diukur atau dikenakan di badannya sendiri. Sehingga tepa slira maksudnya adalah imbauan agar segala sesuatu yang terjadi diusahakan untuk diukur atau diterapkan pada diri sendiri. Dengan demikian, sikap dan perbuatan kita tidak akan semena-mena, atau semau sendiri tanpa mempedulikan orang lain.

Tepa slira merupakan salah satu ajaran penting di Jawa dalam menciptakan tenggang rasa. Contohnya, kalau merasa sakit saat dicubit, maka janganlah mencubit orang lain. Jika tersinggung kalau diejek mengenai kelemahan diri sendiri, maka jangan pula mengejek kelemahan orang lain, karena dia juga pasti tersinggung.

Dengan memiliki kebiasaan mengukur (menerapkan) segala sesuatu di badan sendiri, orang yang bersangkutan akan selalu berusaha menghargai orang lain. Tutur katanya dijaga agar tidak menyinggung (menyakiti) siapa pun lawan bicaranya, perangainya lembut karena menyadari bahwa hidup tidak mungkin sendirian dan selalu membutuhkan orang lain. Orang yang telah mengamalkan sifat tepa slira akan jauh dari sikap gumedhe (merasa besar), kuminter (merasa pinter), sawiyah-wiyah (semena-mena), kumalungkung (angkuh), daksiya (suka menyiksa), dan sebagainya yang tidak disukai, menyakitkan, dan merugikan orang lain.


Ajining dhiri dumunung ing lathi, ajining raga saka busana

Artinya, ajining dhiri dumunung ing lathi (nilai pribadi terletak di bibir), ajining raga saka busana (nilai raga tercermin dari pakaian). Terjemahan bebasnya, nilai pribadi seseorang ditentukan oleh ucapan atau kata-katanya, sedangkan nilai penampilannya sering diukur dari busana yang dikenakannya.

Peribaha ini merupakan nasihat agar berhati-hati dalam bertutur kata. Sebab, apa saja yang terucap dari mulut kita akan didengarkan, diperhatikan, dan dipercaya oleh orang lain. Sebagai contoh, apabila kita sering berbohong maka lama-kelamaan akan menghilangkan kepercayaan. Siapa yang suka mengucapkan kata-kata pedas yang menyakitkan hati, ia akan sulit membangun persahabatan karena orang tidak akan senang dengan ucapannya yang sering menyakitkan hati.

Selain, ajining dhiri dumunung ing lathi, nilai seseorang dapat juga ditentukan oleh pakaiannya. Di Jawa, pakaian bukan saja sekadar penutup aurat, tetapi juga menjadi tolok ukur dari penampilan sesorang. Contonya, seseorang yang menghadiri pesta perkawinan, namun hanya menggunakan sandal jepit dan pakaian ala kadarnya, tentu akan menjadi rerasanan (bahan gunjingan). Bisa juga dianggap tidak menghargai yang punya hajat (tuan rumah) dan tamu undangan lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar